MAKALAH SDI
Studi Dasar Islam
Di susun oleh :
Anis ovianasari
(201110201074)
Fathul azmi (201110201091)
Hera nur
febriastuti (201110201095)
Impiati
wahyuningrum (201110201097)
Julian komala dewi (201110201140)
Lailatul
hasanah (201110201103)
Penti Sari Ningsih
(201110201119)
Siti sekar
wulandari (201110201127)
Teguh (201110201134)
Yesi febriyani (201110201138)
Intan pramuni (201110201100)
S1 ILMU KEPERAWATAN
STIKES ‘AISYIYAHYOGYAKARARTA
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Bismillahirahmanirahim.
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas Rahmat dan
Inayah-Nya serta
Shalawat dan salam marilah senantiasa kita junjungkan kehadirat Nabi Muhammad
SAW sehingga kami dapat menyelesaikan makalah “ Studi dasar
islan ”
Tugas
ini disusun sebagai tugas studi dasar islam dengan tujuan yang lebih khusus
dari kelompok kami untuk menambah pengetahuan tentang apa saja “sehat dan sakit menurut al-quran” dan
lebih mengenal pentingnya sehat buat tubuh kita.Pada kesempatan ini kami menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah mmbantu dalam menyelesaikan tugas makalah ini.
Kami juga menyampaikan rasa terimakasih kepada dosen pembimbing yang telah memberi tugas ini serta arahan dan bimbingan dalam studi dasar islam sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik.
Akhirnya,harapan kami semoga makalah ini bermamfaat khususnya bagi penyusun dan bagi pembaca.kami telah berusaha sebisa mungkin untuk menyelesaikan makalah ini namun masih jauh dari sempurna dan banyak kekurangan,kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna menyempurnakan makalah ini dan tugasa berikutnya.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Yogyakarta,30 oktober
DAFTAR
ISI
Kata
Pengantar ………………………………………………………. 2
Daftar Isi……………………………………………………………... 3
Bab I
Pendahuluan
A.Latar
Belakang…………………………………………….. 4
Bab II
Pembahasan…………………………………………………………... 5-9
Bab III
Penutup
A.Kesimpulan……………………………………………….... 10
Daftar Pustaka
BAB
I
PENDAHULUAN
A.LATA RBELAKANG
Sehat merupakan suatu keadaan yang ideal oleh setiap orang. Orang
yang sehat akan hidup dengan teratur, mengkonsumsi makanan bergizi, berolah
raga, bersosialisasi dan sebagainya. Setiap orang dianggap mampu untuk menjaga
kesehatan dirinya hingga batas-batas tertentu, namun persoalan akan menjadi
lain ketika seseorang jatuh sakit, dan sudah tentu keadaan ideal orang sehat
akan berkurang atau bahkan berhenti sama sekali. Dengan demikian, kesehatan
merupakan kebutuhan pokok dalam kehidupan, akan tetapi pengetahuan dan
ketrampilan seseorang dalam hal penanganan kesehatan terbatas.
BAB II
PEMBAHASAN
.
A. Definisi
sehat sakit
Sehat dalam arti luas adalah suatu
keadaan yang dinamis dimana individu menyesuaikan diri dengan
perubahan-perubahan lingkungan internal dan eksternal untuk mempertahankan
keadaan kesehatannya.
Beberapa
definisi sehat dan sakit:
1. Perkins
(1939), sehat adalah suatu keadaan keseimbangan yang dinamis antara bentuk dan
fungsi tubuh dan beberapa factor yang berusaha mempengaruhinya
2. WHO
(1974), sehat adalah suatu keadaan yang sempurna dari aspek fisik, mental,
soaial dan tidak hanya bebas dari penyakit atau kelemahan.
3. Neuman
(1989) sakit sebagai totalitas dari seluruh proses kehidupan, termasuk
memandang sakit sebuah proses
4. UU
NO.23, 1992, kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan social
yang memungkinkan hidup produktif secara social dan ekonomi
5. Perkins
(1937), sakit adalah suatu keadaan yang tidak menyenangkan yang menimpa
seseorang sehingga menimbulkan gangguan aktifitas sehari-hari baik aktivitas
jasmani, rohani dan social
6. WHO
(1974), sakit adalah suatu keadaan yang tidak seimbang/sempurna seseorang dari
aspek medis, fisik, mental, sosial, psikologis dan bukan hanya mengalami
kesakitan tetapi juga kecacatan
7. Raverlyy
(1940an), sakit adalah tidak adanya keselarasan antara lingkungan, agen dan
individu
8. UU NO.23, 1992,sakit adalah jika seseorang
menderita penyakit menahun (kronis), atau gangguan kesehatan lain yang
menyebabkan aktivitas kerja/kegiatannya terganggu. Walaupun seseorang sakit
(istilah sehari-hari) seperti masuk angin, pilek tetapi bila ia tidak terganggu
untuk melaksanakan kegiatannya, maka ia dianggap tidak sakit.
B. Model
sehat sakit
1.
Kontinum sehat sakit atau rentang sehat
sakit
Neuman (1990) “sehat dalam suatu rentang adalah
tingkat sejahtera klien pada waktu tertentu, yang terdapat dalam rentang dari
kondisi sejahtera yang optimal, dengn energy yang paling maksimum, sampai
kondisi kematian, yang menandakan habisnya energy total”
Menurut model kontinum sehat sakit, sehat adalah
sebuah keadaan yang dinamis yang berubah secara terus menerus sesuai dengan
adaptasi individu terhadap perubahan lingkungan internal dan eksternal untuk
mempertahankan keadaan fisik, emosional, intelektual, sosial, perkembangan dan
spiritual yang sehat.
Sakit adalah
sebuah proses dimana fungsi individu mengalami perubahan atau penurunan bila
dibandingkan dengan kondisi individu sebelumnya.
Karena sehat dan sakit merupakan kualitas yang
relative, yang mempunyai beberapa tingkat, maka akan lebih akurat bila
ditentukan sesui dengan titik tertentu pada skala kontimum sehat sakit:
Rentang
sehat renatang sakit
Sjahtera sht
skali sht normal stengah skit sakit skit kronis mati
Ket gambar:
Rentang sakit
dapat digambarkan mulai setengah sakit, sakit, sakit kronis dan berakhir dengan
kematian, sedangkan rentang sehat dapat digambarkan mulai dari sehat normal,
sehat sekali dan sejahtera sebagai status sehat yang paling tinggi.
Berdasarkan rentang sehat sakit tersebut, maka
paradigma keperwatan dalam konsep sehat sakit, memandang bahwa bentuk pelayanan
keperawatan yang akan biberikan selama rentang sehat sakit, akan melihat
terlebih dahulu status kesehatan dalam rentang sehat sakit tersebut, apakah
statusnya dalam keadaan sakit atau sakit kronis sehingga dapat diketahui
tingkatan asuhan keperawatan yang akan diberikan serta tujuan yang ingin
dicapai untuk meningkatkan status kesehatannya.
2. Model
kesejahteraan tingkat tinggi
Model kesejahteraan tingkat tinggi berorientasi pada
cara memaksimalkan potensi sehat pada setiap individu utuk mampu mempertahankan
rentang keseimbangan dan arah yang memiliki tujuan tertentu dalam lingkungan.
Model ini mencakup kemajuan tingkat fungsi ke arah
yang lebih tinggi, yang menjadi suatu tantangan yang luas dimana individu mampu
hidup dengan potensi yang paling maksimal, merupakan suatu proses yang dinamis,
bukan suatu keadaan yang statis dan pasif.
3.
Model agen-penjamu-lingkungan
Menurut pendekatan ini, tingkat sehat sakit individu
atau kelompok ditentukan oleh hubungan yang dinamis antara ketiga variable
agen, pejamu dan lingkungan.
Agen:
factor internal atau eksternal yang dapat mengakibatkan terjadinya penyakit
Ex: seseorang terkena penyakit typoid, dimana agen
adalah bakteri
Pejamu:
seseorang atau sekelompok orang yang rentan terhadap penyakit atau sakit tertentu.ex: riwayat
keluarga, usia, gaya hidup
Lingkungan:
seluruh factor yang ada diluar pejamu. Lingkungan fisik antara lain tingkat
ekonomi, iklim, kondisi tempat tinggal. Lingkungan soaial terdiri dari
interaksi seseorang dengan orang lain, termasuk stress, konflik dengan orang
lain, kesulitan ekonomi, krisis hidup, kematian pasangan.
Variable yang mempengaruhi keyakinan dan
praktik kesehatan
Variable internal dan eksternal
dapat mempengaruhi bagaimana individu
berfikir dan bertindak, pemahaman cara bagaimana variable ini mempengaruhi
klien memungkinkan perawat merencanakan dan memberikan perawatan individual.
Variable internal
1.
persepsi tentang fungsi
cara seseorang merasakan fungsi fisik
akan berakibat pada keyakinan terhadap kesehatan dan cara melaksanakannya.
Contoh, seseorang dengan kondisi jantung yang kronik akan merasa bahwa tingkat
kesehatan mereka berbeda dengan orang yang tidak mengalami masalah kesehatan
yang berarti.
2.
faktor emosional
seseorang yang tidak mampu melakukan
koping scara emosional terhadap ancamman penyakitnya, mungkin akan menyangkal
adanya gejala penyakit pada dirinya dan tidak mau menjalani pengobatan. Contoh,
seseorang dengan nafas yang terengah-engah dan sering batuk mungkina akan
menyalahkan cuaca dingin jika ia secara emosional tidak dapat menerima kemungkinan menderita penyakit
saluran pernafasan.
3. Faktor
spiritual
Kesehatan dipandang oleh beberapa orang
sebagai suatu kemampuan untuk menjalani kehidupan secara utuh.Pelaksanaan
perintah agama merupakan suatu cara seseorang berlatih secara spiritual. Ada
beberapa agama yang melarang penggunaan bentuk tindakan pengobatan tertentu,
perawat harus memahami dimensi spiritual klien sehingga mereka dapat dilibatkan
secara aktif dalam asuhan keperawatan.
Variable eksternal
1. prakti
dikeluarga
cara bagaimana keluarga klien
menggunakan pelayanan kesehatan biasanya akan mempengaruhi cara klien dalam
melaksanakan kesehatan. Contoh, seorang anak yang diajak orang tuannya untuk memeriksakan kesehatan rutin,
kemungkinan besar ketika mereka dewasa juga akan membawa anaknya untuk
melakukan pemeriksaan yang sama.
2. Faktor
sosioekonomik
Factor sosial dan psikososial dapat
meningkatkan resiko terjadinya penyakit dan mempengaruhi cara seseorang
mendefinisikan dan bereraksi terhadap penyakit. Contoh, jika masyarakat
menerima perilaku dari sekelompok gadis remaja tertentu yang mempunyai
kebiasaan merokok, maka dorongan untuk
menerima kebiasaan tersebut lebih besar daripada perhatian tentang bahaya
merokok.
3. Latar
belakang budaya
Latar belakang budaya mempengaruhi
keyakinan, nilai dan kebiasaan individu. Budaya juga mempengaruhi tempat masuk
ke dalam system pelayanan kesehatan dan mempengaruhi cara melaksanakan
kesehatan pribadi. Contoh, sebuah studi tentang pendidikan kesehatan yang
dilakukan pada penduduk Amerika keturunan Afrika sebagian besar tidak mempunyai
akses untuk mendapatkan pendidikan kesehatan yang dapat digunakan sebagai cara
pencegahan primer (Airhihenbuwa, 1989).
Oleh karena itu perawat harus menyadari pola dan budaya yang
berhubungan dengan perilaku dan bahasa yang digunakan oleh diri sendiri maupun
orang lain, maka mereka akan mampu mengenal, memahami perilaku dan keyakinan
klien. Perawat harus mengidentifikasi dan memasukkan factor budaya kedalam rencana perawatan klien untuk
menghindari terjadinya konflik antara tujuan dan metode perawatan dengan latar
belakang budaya klien
C. Konsep Sehat dan Sakit
Menurut Islam
Sakit dan penyakit merupakan suatu
peristiwa yang selalu menyertai hidup manusia sejak jaman Nabi Adam. Kita
memahami apapun yang menimpa manusia adalah takdir, sakit pun merupakan takdir.
Lantas kalau sakit merupakan takdir, kalau kita sakit kenapa harus mencari
sehat /kesembuhan? Di hadapan Allah, orang sakit bukanlah orang yang hina.
Mereka justru memiliki kedudukan yang sangat mulia. “Tidak ada yang yang
menimpa seorang muslim kepenatan, sakit yang berkesinambungan (kronis),
kebimbangan, kesedihan, penderitaan, kesusahan, sampai pun duri yang ia
tertusuk karenanya, kecuali dengan itu Allah menghapus dosanya.:
(Hadist diriwayatkan oleh Al-Bukhari)
(Hadist diriwayatkan oleh Al-Bukhari)
Bahkan Allah menjanjikan apabila
orang yang sakit apabila ia bersabar dan berikhtirar dalam sakitnya, selain
Allah menghapus dosa-dosanya.
“Tidaklah seorang muslim tertimpa
derita dari penyakit atau perkara lain kecuali Allah hapuskan dengannya (dari
sakit tersebut) kejelekan-kejelekannya (dosa-dosanya) sebagaimana pohon
menggugurkan daunnya.”(Diriwayatkan oleh Imam Muslim)
“Jika kamu menjenguk orang sakit,
mintalah kepadanya agar berdoa kepada Allah untukmu, karena doa orang yang
sakit seperti doa para malaikat.”
(HR. Asy-Suyuti)
(HR. Asy-Suyuti)
Sakit
Pandangan Alquran
Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: “(Ya Tuhanku), Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan yang Maha Penyayang di antara semua Penyayang”. Maka Kamipun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah. (Al Quran Surah Al Anbiyaa’ [21]:83-84)
الرَّاحِمِينَ
أَرْحَمُ وَأَنْتَ الضُّرُّ مَسَّنِيَ أَنِّي رَبَّهُ نَادَى إِذْ
وَأَيُّوبَ
مِنْ
رَحْمَةً مَعَهُمْ وَمِثْلَهُمْ أَهْلَهُ وَآتَيْنَاهُ ضُرٍّ مِنْ بِهِ مَا
فَاسْتَجَبْنَا لَهُ فَكَشَفْنَا لِلْعَابِدِينَ
وَذِكْرَى عِنْدِنَا
Artinya:
dan
(ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: "(Ya Tuhanku),
sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha
Penyayang di antara semua penyayang".
Maka Kami pun memperkenankan
seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami
kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka,
sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua
yang menyembah Allah.
Ayat
diatas mengisahkan Nabi Ayub yang ditimpa penyakit, kehilangan harta dan
anak-anaknya. Dari seluruh tubuhnya hanya hati dan lidahnya yang tidak tertimpa
penyakit, karena dua organ inilah yang dibiarkan Allah tetap baik dan digunakan
oleh Nabi Ayub untuk berzikir dan memohon keridhoan Allah, dan Allah pun
mengabulkan doanya, hingga akhirnya Nabi Ayub sembuh dan dikembalikan harta dan
keluarganya.
Dari
sini dapat diambil pelajaran agar manusia tidak berprasangka buruk kepada
Allah, tidak berputus asa akan rahmat Allah serta bersabar dalam menerima
takdir Allah. Karena kita sebagai manusia perlu meyakini bahwa apabila Allah mentakdirkan
sakit maka kita akan sakit, begitu pula apabila Allah mentakdirkan kesembuhan,
tiada daya upaya kecuali dengan izin-Nya kita sembuh.
(Yaitu
Tuhan) yang telah menciptakan Aku, Maka Dialah yang menunjuki Aku. Dan Tuhanku,
yang Dia memberi Makan dan minum kepadaKu. Dan apabila aku sakit, Dialah yang
menyembuhkan Aku. Dan yang akan mematikan Aku, kemudian akan menghidupkan aku
(kembali). Dan yang Amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari
kiamat”.
(Al
Quran surah Asy Syu’araa’ [26]: 78 – 82)
وَيَسْقِينِ
وَالَّذِي هُوَ يُطْعِمُنِي الَّذِي خَلَقَنِي فَهُوَ يَهْدِينِ
وَالَّذِي
يُمِيتُنِي ثُمَّ يُحْيِينِ وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ
وَالَّذِي
أَطْمَعُ أَنْ يَغْفِرَ لِي خَطِيئَتِي يَوْمَ الدِّينِ
Artinya :
(yaitu Tuhan) Yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang
menunjuki aku, dan Tuhanku, Yang Dia memberi makan dan minum kepadaku, dan
apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku, dan Yang akan mematikan aku,
kemudian akan menghidupkan aku (kembali), dan Yang amat kuinginkan akan
mengampuni kesalahanku pada hari kiamat".
KESEHATAN FISIK
Telah disinggung bahwa dalam tinjauan ilmu kesehatan dikenal
berbagai jenis kesehatan, yang diakui pula oleh pakar-pakar Islam.
Majelis Ulama Indonesia (MUI), misalnya, dalam Musyawarah
Nasional Ulama tahun 1983 merumuskan kesehatan sebagai “ketahanan jasmaniah,
ruhaniah, dan sosial yang dimiliki manusia, sebagai karunia Allah yang wajib
disyukuri dengan mengamalkan (tuntunan-Nya), dan memelihara serta
mengembangkannya.”
Memang banyak sekali tuntunan agama yang merujuk kepada
ketiga jenis kesehatan itu. Dalam konteks kesehatan fisik, misalnya ditemukan
sabda Nabi Muhammad saw.:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَا عَبْدَ اللَّهِ أَلَمْ أُخْبَرْ أَنَّكَ تَصُومُ النَّهَارَ وَتَقُومُ
اللَّيْلَ قُلْتُ بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَلَا تَفْعَلْ صُمْ وَأَفْطِرْ
وَقُمْ وَنَمْ فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ
حَقًّا وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash dia berkata bahwa Rasulullah
saw telah bertanya (kepadaku): “Benarkah kamu selalu berpuasa di siang hari dan
dan selalu berjaga di malam hari?” Aku pun menjawab: “ya (benar) ya Rasulullah.”Rasulullah
saw pun lalu bersabda: “Jangan kau lakukan semua itu. Berpuasalah dan
berbukalah kamu, berjagalah dan tidurlah kamu, sesungguhnya badanmu mempunyai
hak atas dirimu, matamu mempunyai hak atas dirimu, dan isterimu pun mempunyai
hak atas dirimu.” (Hadis
Riwayat al-Bukhari dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash)
Demikian Nabi Saw. menegur beberapa sahabatnya yang
bermaksud melampaui batas dalam beribadah, sehingga kebutuhan jasmaniahnya
terabaikan dan kesehatannya terganggu. Pembicaraan literatur keagamaan tentang
kesehatan fisik, dimulai dengan meletakkan prinsip: “Pencegahan lebih baik
daripada pengobatan.”
Karena itu dalam konteks kesehatan ditemukan sekian banyak
petunjuk Kitab Suci dan Sunah Nabi saw. yang pada dasarnya mengarah pada upaya
pencegahan.
Salah satu sifat manusia yang secara tegas dicintai Allah
adalah orang yang menjaga kebersihan. Kebersihan dikaitkan dengan tobat
(taubah) seperti firman Allah:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ
قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ
حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ
اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
"Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh
itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita
di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.
Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri." (QS al-Baqarah [2]: 222)
Tobat menghasilkan kesehatan mental, sedangkan kebersihan
lahiriah menghasilkan kesehatan fisik. Wahyu kedua (atau ketiga) yang diterima
Nabi Muhammad Saw. adalah:
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ(4)
وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ(5)
"Dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah
berhala) tinggalkanlah." (QS
al-Muddatstsir [74]: 4-5).
Perintah tersebut berbarengan dengan perintah menyampaikan
ajaran agama dan membesarkan nama Allah Swt. Terdapat hadis yang amat populer
tentang kebersihan yang berbunyi:
النَّظَافَةُ مِنَ الإِيْمَانِ
"Kebersihan adalah bagian dari iman."
Hadis ini dinilai oleh sebagian ulama sebagai hadis dha’if.
Kendati begitu, terdapat sekian banyak hadis lain yang mendukung makna
tersebut, seperti sabda Nabi Saw.:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْإِيمَانُ بِضْعٌ
وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ
إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ
شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
"Iman, terdiri dan tujuh puluh atau enam puluh cabang,
puncaknya adalah ucapan “Tiada Tuhan selain Allah, dan yang terendah adalah
menyingkirkan gangguan dan jalan, dan malu itu adalah sebagian dari iman” (Hadis Riwayat al-Bukhari dari
Abu Hurairah).
Perintah menutup hidangan, mencuci tangan sebelum makan,
bersikat gigi, larangan bernafas sambil minum, tidak kencing atau buang air di
tempat yang tidak mengalir atau di bawah pohon, adalah contoh-contoh praktis
dari sekian banyak tuntunan Islam dalam konteks menjaga kesehatan. Bahkan
sebelum dunia mengenal ‘karantina’, Nabi Muhammad Saw. telah menetapkan dalam
salah satu sabdanya,
إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ
بِأَرْضٍ فَلَا تَدْخُلُوهَا وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا
تَخْرُجُوا مِنْهَا
"Apabila kalian mendengar adanya wabah di suatu daerah,
janganlah mengunjungi daerah itu, tetapi apabila kalian berada di daerah itu,
janganlah meninggalkannya." (Hadis
Riwayat al-Bukhari dari Usamah bin Zaid)
Ditemukan juga peringatan bahwa perut merupakan sumber utama
penyakit: Al-Mâ’idât Bait Addâ’. Dan karena itu, ditemukan banyak sekali
tuntutan — baik dari al-Quran maupun hadis Nabi Saw. — yang berkaitan dengan
makanan, jenis maupun kadarnya. Al-Quran juga mengingatkan:
يَابَنِي ءَادَمَ خُذُوا
زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ
لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
"Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap
(memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (QS al-A’râf [7]: 31)
Penjabaran peringatan itu dijelaskan oleh Rasulullah Saw.
dengan sabdanya:
عَنْ مِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي
كَرِبَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ
يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ
لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ
Dari Miqdam bin Ma’di Kariba, dia berkata bahwa dia pernah mendengar
Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada sesuatu yang dipenuhkan oleh putra putri
Adam lebih buruk daripada perut. Cukuplah bagi putra Adam beberapa suap yang
dapat menegakkan tubuhnya. Kalaupun harus dipenuhkan, maka sepertiga untuk
makanannya, seperti lagi untuk minumannya, dan sepertiga sisanya untuk
pernafasannya. (Hadis
Riwayat at-Tirmidzi).
Perlu pula digarisbawahi bahwa sebagian pakar, baik agamawan
maupun ilmuwan, berpendapat bahwa jenis makanan dapat mempengaruhi mental
manusia. Al-Harali (wafat 1232 M.) menyimpulkan hal tersebut setelah membaca
firman Allah yang mengharamkan makanan dan minuman tertentu karena makanan dan
minuman tersebut rijs.
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ
إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ
دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ
لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ
غَفُورٌ رَحِيمٌ
"Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang
diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi —
karena sesungguhnya semua itu kotor — atau binatang yang disembelih atas nama
selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS al-An’âm [6]: 145).
Kata rijs diartikan sebagai keburukan budi pekerti atau
kebobrokan mental. Pendapat serupa dikemukakan antara lain oleh seorang ulama
kontemporer Syaikh Taqi Falsafi dalam bukunya Child Between Heredity and
Education, yang mengutip pendapat Alexis Carrel dalam bukunya Man the Unknown.
Carrel, peraih hadiah Nobel bidang kedokteran ini, menulis bahwa pengaruh
campuran kimiawi yang dikandung oleh makanan terhadap aktivitas jiwa dan
pikiran manusia belum diketahui secara sempurna, karena belum diadakan
eksperimen dalam waktu yang memadai. Namun tidak dapat diragukan bahwa perasaan
manusia dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas makanan.
Para ulama sering mengaitkan penyakit dengan siksa Allah.
Dalam hal ini, al-Biqa’i dalam tafsirnya mengenai surah al-Fatihah,
mengemukakan sabda Nabi Saw.:
المَرَضُ سَوْطُ اللهِ فِى
الأَرْضِ يُؤَدِّبُ اللهُ بِهِ عِبَادَهُ
"Penyakit adalah cambuk Tuhan di bumi ini, dengannya
Dia (Allah) mendidik hamba-hamba-Nya."
Pendapat ini didukung oleh kandungan pengertian takwa yang
pada dasarnya berarti menghindar dari siksa Allah di dunia dan di akhirat.
Siksa Allah di dunia, adalah akibat pelanggaran terhadap hukum-hukum alam.
Hukum alam antara lain membuktikan bahwa makanan yang kotor mengakibatkan
penyakit. Seorang yang makan makanan kotor pada hakikatnya melanggar perintah
Tuhan, sehingga penyakit merupakan siksa-Nya di dunia yang harus dihindari oleh
orang yang bertakwa.
Dari sini dapat dimengerti bahwa Islam memerintahkan agar
berobat pada saat ditimpa penyakit.
تَدَاوَوْا فَإِنَّ اللَّهَ
عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ دَوَاءً غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ
الْهَرَمُ
"Berobatlah, karena tiada satu penyakit yang diturunkan
Allah, kecuali diturunkan pula obat penangkalnya, selain dari satu penyakit,
yaitu ketuaan." (Hadis
Riwayat Abu Dawud dan at-Tirmidzi dari — sahabat Nabi — Usamah bin Syuraik).
Bahkan seandainya tidak ada perintah rinci dari hadis
tentang keharusan berobat, maka prinsip- prinsip pokok yang diangkat dari
al-Quran dan Hadis cukup untuk dijadikan dasar dalam upaya kesehatan dan
pengobatan. Sebagai contoh dapat dikemukakan persoalan transplantasi, baik dari
donor hidup maupun donor yang telah meninggal dunia. Beberapa prinsip dan
kesepakatan dalam bidang hukum agama yang berkaitan dengan topik bahasan ini
dapat membantu menemukan pandangan Islam dalam persoalan dimaksud. Prinsip-prinsip
dimaksud antara 1ain adalah:
·
Agama
Islam bertujuan memelihara agama, jiwa, akal, kesehatan, dan harta benda umat
manusia.
·
Anggota
badan dan jiwa manusia merupakan milik Allah yang dianugerahkan-Nya untuk
dimanfaatkan, bukan untuk disalahgunakan atau diperjualbelikan.
·
Penghormatan
dan hak-hak asasi yang dianugerahkan-Nya mencakup seluruh manusia, tanpa
membedakan ras atau agama.
·
Terlarang
merendahkan derajat manusia, baik yang hidup, maupun yang telah wafat.
·
Jika
bertentangan kepentingan antara orang yang hidup dan orang yang telah wafat,
maka dahulukanlah kepentingan orang yang hidup.
Dari prinsip-prinsip ini banyak ulama kontemporer menetapkan
bahwa “transplantasi” dapat dibenarkan selama tidak diperjualbelikan, dan
selama kehormatan manusia — yang hidup maupun yang mati – terjaga sepenuhnya.
Salah satu jaminan tidak adanya pelecehan adalah izin dan pihak keluarga.
Alasan penolakan yang sering terdengar dari kalangan orang
kebanyakan (awam) bahwa setelah si penerima donor sehat, ia mungkin dapat
menyalahgunakan kesehatannya, dan ini dapat mengakibatkan dosa, terutama bagi
“pemilik” organ (jenazah), atau orang yang mengizinkan. Alasan ini, pada
hakikatnya tidak sepenuhnya dapat diterima. Kemurahan dan keadilan Tuhan
mengantar-Nya untuk tidak menuntut pertanggungjawaban dari seseorang terhadap
sesuatu yang tidak dikerjakannya secara sadar, karena hakikat manusia bukan
organ dan jasmaninya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ لَا
يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ
وَأَعْمَالِكُمْ
"Allah tidak memandang kepada rupa dan hartamu, tetapi
memandang hati dan perbuatanmu." (HR Muslim dari Abu Hurairah)
Demikian sabda Nabi Muhammad Saw. yang diriwayatkan oleh
Muslim. Di samping itu, izin yang diharuskan itu, telah dapat mengurangi kalau
enggan berkata “menghilangkan” kekhawatiran di atas. Kalau niat pemberi izin
untuk membantu sesama manusia, dan dia menduga keras bahwa bantuan tersebut
tidak akan disalahgunakan, maka kalaupun ternyata dugaannya keliru, maka ia
bebas dari dosa. Sebaliknya, jika yang memberi izin sudah menduga keras akan
terjadinya penyalahgunaan, maka tentu saja ia tidak terbebaskan dari dosa. Di
sini terlihat pula peranan izin.
Dapat ditambahkan bahwa al-Quran menegaskan:
مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا
عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ
فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا
فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا وَلَقَدْ جَاءَتْهُمْ رُسُلُنَا
بِالْبَيِّنَاتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ بَعْدَ ذَلِكَ فِي الْأَرْضِ
لَمُسْرِفُونَ
"Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani
Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu
(membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka
seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang
memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara
kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka
rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian
banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam
berbuat kerusakan di muka bumi." (QS al-Maidah [5]: 32).
“Menghidupkan” di sini bukan saja yang berarti “memelihara
kehidupan”, tetapi juga dapat mencakup upaya “memperpanjang harapan hidup”
dengan cara apa pun yang tidak melanggar hukum.
Demikian, satu contoh, bagaimana ayat-ayat al-Quran dipahami
dalam konteks peristiwa paling mutakhir dalam bidang kesehatan.
Namun dalam ajaran Islam juga ditekankan bahwa obat dan
upaya hanyalah “sebab”, sedangkan penyebab sesungguhnya di balik sebab atau
upaya itu adalah Allah Swt., seperti ucapan Nabi Ibrahim a.s. yang diabadikan
al-Quran:
وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ
يَشْفِينِ
"Apabila aku sakit, Dia (Allah) lah yang
menyembuhkanku." (QS al-Syu’arâ’ [26]: 80)
KESEHATAN MENTAL
Nabi Saw. juga mengisyaratkan bahwa ada keluhan fisik yang
terjadi karena gangguan mental. Seseorang datang mengeluhkan penyakit perut
yang diderita saudaranya setelah diberi obat berkali-kali, tetapi tidak kunjung
sembuh dinyatakan oleh Nabi Saw:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ أَخِي اسْتَطْلَقَ بَطْنُهُ فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْقِهِ عَسَلًا فَسَقَاهُ ثُمَّ
جَاءَهُ فَقَالَ إِنِّي سَقَيْتُهُ عَسَلًا فَلَمْ يَزِدْهُ إِلَّا اسْتِطْلَاقًا
فَقَالَ لَهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ جَاءَ الرَّابِعَةَ فَقَالَ اسْقِهِ عَسَلًا
فَقَالَ لَقَدْ سَقَيْتُهُ فَلَمْ يَزِدْهُ إِلَّا اسْتِطْلَاقًا فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدَقَ اللَّهُ وَكَذَبَ بَطْنُ
أَخِيكَ فَسَقَاهُ فَبَرَأَ
Dari Abu Said al-Khudri r.a katanya: "Ada seorang lelaki
datang kepada Nabi s.a.w lalu berkata: Saudaraku terasa mual-mual perutnya.
Rasulullah s.a.w. bersabda: "Berilah beliau [minum] madu! Setelah lelaki
itu memberikan madu kepada saudaranya, beliau datang lagi kepada Nabi s.a.w.
dan menyatakan: Aku telah memberinya [minum] madu, tetapi perut beliau
bertambah memulas. Kejadian itu berulang sehingga tiga kali. Pada kali yang
keempat, Rasulullah s.a.w. bersabda: Berilah beliau [minum] madu! Lelaki
tersebut masih lagi menyatakan: Aku benar-benar telah memberinya [minum] madu,
tetapi perut beliau bertambah mulas. Maka Rasulullah s.a.w. bersabda: Maha
benar Allah yang telah berfirman: Dari perut lebah itu keluar minuman (madu)
yang bermacam-macam warnanya, di dalam minuman itu terdapat obat yang
menyembuhkan bagi manusia. Oleh sebab itu, mungkin ada yang tidak sesuai dengan
perut saudaramu itu. Akhirnya Rasulullah s.a.w. sendiri yang memberikan minum
madu, dan sembuhlah saudara lelaki itu." (Hadis Riwayat al-Bukhari dan Muslim).
Al-Quran al-Karim memang banyak berbicara tentang penyakit
jiwa. Mereka yang lemah iman dinilai oleh al-Quran sebagai orang yang memiliki
penyakit di dalam dadanya.
Dari hadis-hadis Nabi diperoleh petunjuk, bahwa sebagian
kompleks kejiwaan tercipta pada saat janin masih berada di perut ibu, atau
bahkan pada saat hubungan seks (pertemuan sperma dan ovum), demikian juga
ketika bayi masih dalam buaian.
Karena itu, Islam memerintahkan kepada para ibu dan bapak
agar menciptakan suasana tenang, dan mengamalkan ajaran agama pada saat bayi
berada dalam kandungan, sebagaimana memerintahkan kepada para orang-tua untuk
memperlakukan anak-anak mereka secara wajar.
Dalam suatu riwayat diungkapkan ada seorang anak yang sedang
digendong, kemudian ‘pipis’ [kencing] membasahi pakaian Nabi. Ibunya merenggut
bayi tersebut dengan kasar. Namun Nabi [lalu] menegurnya, dengan bersabda:
مَهْلًا بِأُمِّ الْفَضْلِ إِنَّ
هَذَا الإِرَقَةَ المَاءُ يُطَهِّرُهَا فأَيُّ شَيْءٍ يَزِيْلُ هَذَا الغُبَارَ
عَنْ قَلْبِهِ
"Jangan hentikan pipisnya, jangan renggut dia dengan
kasar. Pakaian ini dapat dibersihkan dengan air, tetapi apa yang dapat
menjernihkan hati sang anak (yang engkau renggut dengan kasar)?"
Seperti diungkapkan oleh beberapa pakar ilmu jiwa, bahwa
sebagian kompleksitas gejala sakit kejiwaan yang diderita orang dewasa, dapat
diketahui penyebab utamanya adalah pada perlakuan yang diterimanya sebelum
dewasa.
Agaknya kita dapat menyimpulkan bahwa pandangan Islam
tentang penyakit-penyakit mental mencakup banyak hal, yang boleh jadi tidak
dijangkau oleh pandangan ilmu kesehatan modern. Dalam al-Quran tidak kurang
sebelas kali disebut istilah fî qulûbihim maradh.
Kata qalb atau qulûb dipahami dalam dua makna, yaitu “akal
dan hati.” Sedang kata maradh biasa diartikan sebagai penyakit. Secara rinci
pakar bahasa – Ibnu Faris – mendefinisikan kata tersebut sebagai “segala
sesuatu yang mengakibatkan manusia melampaui batas keseimbangan/ kewajaran dan
mengantar kepada terganggunya fisik, mental, bahkan kepada tidak sempurnanya
amal seseorang.”
Terlampauinya batas kesimbangan tersebut dapat berbentuk
gerak ke arah berlebihan, dan dapat pula ke arah kekurangan.
Dari sini dapat dikatakan bahwa al-Quran memperkenalkan
adanya penyakit-penyakit yang menimpa hati dan yang menimpa akal.
Penyakit-penyakit akal yang disebabkan bentuk berlebihan
adalah semacam kelicikan, sedangkan yang bentuknya karena kekurangan adalah
ketidaktahuan akibat kurangnya pendidikan. Ketidaktahuan ini dapat bersifat
tunggal maupun ganda. Seseorang yang tidak tahu serta tidak menyadari
ketidaktahuannya pada hakikatnya menderita penyakit akal-ganda (jâhil
murakkab).
Penyakit akal berupa ketidaktahuan mengantarkan penderitanya
pada keraguan dan kebimbangan. Penyakit-penyakit kejiwaan pun beraneka ragam
dan bertingkat-tingkat. Sikap angkuh, benci, dendam, fanatisme, loba, dan kikir
yang antara lain disebabkan karena bentuk keberlebihan seseorang. Sedangkan
rasa takut, cemas, pesimisme, rendah diri dan lain-lain adalah karena
kekurangannya.
Yang akan memperoleh keberuntungan di hari kemudian adalah
mereka yang terbebas dari penyakit-penyakit tersebut, seperti bunyi firman
Allah:
يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا
بَنُونَ(88) إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ(89)
"(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih." (QS. Al-Syu’arâ’ [26]: 88-89)
Islam mendorong manusia, agar memiliki hati (qalb) yang
sehat dari segala macam penyakit adalah dengan jalan bertobat, dan mendekatkan
diri kepada Tuhan (Allah). Karena itulah Allah berfirman:
الَّذِينَ ءَامَنُوا
وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ
الْقُلُوبُ
"(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi
tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah
hati menjadi tenteram."
(QS al-Ra’d [13]: 28).
Itulah sebagian tuntunan al-Quran dan Sunnah Nabi Saw.
tentang kesehatan
BAB III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Cara dan
gaya hidup manusia, adat istiadat, kebudayaan,kepercayaan bahkan seluruh
peradaban manusia dan lingkungannya berpengaruh terhadap penyakit. Secara
fisiologis dan biologis tubuh manusia selalu berinteraksi dengan lingkungannya.Manusia
mempunyai daya adaptasi terhadap lingkungan yang selalu berubah, yang sering
membawa serta penyakit baru yang belum dikenal atau perkembangan/perubahan
penyakit yang sudah ada. Kajian mengenai “sehat
dan sakit menurut al-quran” perlu memperhatikan pola hidup dengan
baik dan benar.
DAFTAR
PUSTAKA
howw i like it
BalasHapusthankss,,, ih brarti km tau rahasiaku donk
BalasHapus