BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Menurut data World Health
Organization (WHO), masalah gangguan kesehatan jiwa di seluruh dunia memang
sudah menjadi masalah yang sangat serius. Pada tahun 2001 WHO menyatakan paling
tidak ada satu dari empat orang di dunia mengalami gangguan kesehatan jiwa. WHO
memperkirakan ada sekitar 450 juta orang di dunia mengalami gangguan kesehatan
jiwa. Sementara itu, menurut Uton Muchtar Rafei, Direktur WHO wilayah Asia
Tenggara hampir 1/3 dari penduduk di wilayah ini penah mengalami gangguan
neuropsikiatri. Hal ini dapat dilihat dari Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
tahun 1995 saja di Indonesia diperkirakan sebanyak 264 dari 1.000 anggota rumah
tangga menderita gangguan kesehatan jiwa. Arul Anwar (Dirjen Bina Kesehatan
Masyarakat Departemen kesehatan) mengatakan bahwa jumlah penderita gangguan
kesehatan jiwa di masyarakat sangat tinggi, yakni satu dari empat penduduk
Indonesia menderita kelainan jiwa rasa cemas depresi, stress,, penyalahgunaan
obat, kenakalan remaja sampai skizofrenia. Di era globalisasi, gangguan kejiwaan
meningkat sebagai contoh penderita tidak hanya dari kalangan bawah sekarang
kalangan pejabat dan masyarakat lapisan menengah ke atas juga terkena gangguan
jiwa (Yosep, 2009).
Prognosis
untuk skizofrenia pada umumnya kurang begitu menggembirakan. Sekitar 25% pasien
dapat pulih dai episode awal dan fungsinya dapat kembali pada tingkat premorbid sebelum munculnya
gangguan tersebut. Sekitar 25% pasien tidak akan pernah pulih dan perjalanan
penyakitnya cenderung memburuk. Sekitar 50% berada diantaranya, ditandai ada
kekambuhan priodik dan ketidakmampuan berfungsi dengan efektif kecuali untuk
waktu yang singkat. Mortalitas pasien skizofrenia lebih tinggi secara
signifikan daripada populasi umum. Sering terjadi bunuh diri, gangguan fisik
yang menyertai masalah penglihatan dan gigi, tekanan darah tinggi diabetes, penyakit
yang ditularkan secara seksual (Arif, 2006). Undang – Undang Kesehatan Jiwa No.
03 tahun 1966 ditetapkan oleh pemerintah Republik Indonesia (RI), maka jalan
lebih terbuka untuk mnghimpun semua potensi guna secara bertahap melaksanakan
modernisasi semua sistem rumah sakit serta fasilitas kesehatan jiwa di
Indonesia. Direktorat Kesehatan Jiwa mngadakan kerjasama dengan berbagai
instansi pemerintahan dan dengan bagian Ilmu Kedokteran Jiwa dari Fakultas
Kedokteran pemerintah maupun dengan badan Internasional (Maramis, 2004).
Pemberian obat yang tidak tepat dengan standar dan tujuan terapi, maka akan
merugikan pasien. Penggunaan obat yang tidak rasional seperti tidak tepat
indikasi, dosis, obat dan pasien sering kali dijumpai dalam praktik sehari –
hari, baik di PUSKESMAS, rumah sakit maupun swasta. Hal tersebut dapat menjadi
penyebab kegagalan terapi pengobatan skizofrenia (Anonim, 2000).
Oleh karena itu, penulis menulis makalah ini yang akan dibahas
pada mata kuliah Psikologi Keperawatan. Skizofrenia adalah gangguan psikotik
yang sifatnya merusak, melibatkan gangguan berfikir, persepsi, pembicaraan,
emosional, dan gangguan perilaku. Gangguan psikotik adalah gangguan jiwa yang
ditandai dengan ketidakmampuan individu menilai kenyataan yang terjadi. Masalah
skizofrenia an gangguan psikotik ini bukan hanya terjadi di negara Indonesia
saja, melainkan di berbagai belahan dunia lain seperti belahan bumi Barat,
Selatan dan Utara. Baiklah untuk mengetahui lebih lanjut, marilah kita sama –
sama membaca, memahami dan mengupas masalah tersebut pada makalah ini.
B.
Identifikasi
Masalah
Mahasiswa mampu mempelajari dan
memahami gangguan psikotik pada penderita skizofrenia.
C.
Rumusan
Masalah
1. Apa
yang dimaksud gangguan psikotik dan skizofrenia?
2. Apa
yang menyababkan terjadinya gangguan psikotik dan skizofrenia ?
3. Apa
Ciri-ciri gangguan psikotik dan skizofrenia ?
4. Apa
tipe-tipe gangguan psikotik dan skizofrenia
5. Apa
tanda dan gejala terjadinya gangguan psikotik dan skizofrenia?
6. Bagaimana
cara mengatasi gangguan psikotok dan skizofrenia
7. Apa
perbedaan gangguan jiwa dan gangguan mental. Jelaskan!
8. Asuhan
keperawatan gangguan jiwa?
D.
Tujaun
1.
Mahasiswa mampu
memahami keperawatan jiwa tentang gangguan psikotik (skizofrenia).
2.
Mahasiswa mampu
memahami cara penanganan pada gangguan psokotik.
3. Mahasiswa
mampu memahami tanda dan gejala pada gangguan skizofrenia.
4. Mahasiswa
mampu menerapkan asuhan keperawatan pada gangguan skizofernia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
GANGGUAN PSIKOTIK DAN SKIZOFRENIA
a. Pengertian Gangguan Psikotik
Gangguan psikotik adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan
ketidakmampuan individu menilai kenyataan yang terjadi, misalnya terdapat
halusinasi, waham atau perilaku kacau atau aneh.
b. Pengertian Skizofrenia
Kata skizofrenia terdiri dari dua
kata, yaitu skhizein = spilit = pecah dan phrenia = mind = pikiran. Jadi
skizofrenia adalah gangguan psikotik yang sifatnya merusak, melibatkan gangguan
berfikir, persepsi, pembicaraan, emosional, dan gangguan perilaku.
Skizofrenia merupakan suatu
deskripsi sindrom dengan variasi penyebab dan perjalanan penyakit yang luas,
serta sejumlah akibat tergantung pada perimbangan pengaruh genetik dan sosial
budaya (Rusdi Maslim, 2000 : 46).
Menurut Eugen Bleuler (Maramis, 1998 : 217), skizofrenia
adalah suatu gambaran jiwa yang terpecah belah, adanya keretakan atau
disharmoni antara proses pikir, perasaan dan perbuatan.
Skizofrenia merupakan suatu gangguan
psikotik kronik, sering mereda, namun hilang timbul dengan manifestasi klinis
yang amat luas variasinya (Kaplan, 2000 : 407).
Skizofrenia
adalah kondisi psikologis dengan gangguan disintegrasi, depersonalisasi dan
kebelahan atau kepecahan struktur kepribadian, serta regresi akut yang parah (Kartono, 2002 : 243).
B. Faktor - Faktor Penyebab Gangguan
Psikotik dan Skizofenia
A.
Faktor Penyebab Gangguan Psikotik
Adapun faktor – faktor penyebab
gangguan psikotik antara lain :
a. Faktor
organo – biologik
1)
Genetik (heredity)
Adanya
kromosom tertentu yang membawa sifat gangguan jiwa (khususnya pada
skizofrenia). Hal ini telah dipelajari pada penelitian anak kembar, dimana pada
anak kembar monozigot (satu sel telur) kemungkinan terjadinya skizofrenia
persentase tertinggi 86,2%, sedangkan pada anak kembar dengan dua sel telur
(heterozigot) kemungkinannya hanya 14,5%.
2) Bentuk Tubuh
(konstitusi)
Kretschmer
(1925) dan Sheldon (1942), meneliti tentang adanya hubungan antara bentuk tubuh
dengan emosi, temperamen dan kepribadian (personality).
Contohnya, orang yang berbadan gemuk
emosinya cendrung meledak – ledak, ia bisa lompat kegirangan
ketika mendapat hal yang menyenangkan baginya dan sebaliknya.
3)
Terganggunya Otak Secara Organik
Contohnya,
Tumor, trauma (bisa disebabkan karena gagar otak yang pernah dialami karena
kecelakaan), infeksi, gangguan vaskuler, gangguan metabolisme, toksin dan
gangguan cogenital dari otak
4) Pengaruh
Cacat Cogenital
Contohnya, Down Syndrome
(mongoloid).
5) Pengaruh Neurotrasmiter
Yaitu suatu zat kimia yang terdapat di otak yang
berfungsi sebagai pengantar implus antar neuron (sel saraf) yang sangat terkait
dengan penelitian berbagai macam obat – obatan yang bekerja pada susunan
saraf.
Contohnya, perubahan aktivitas
mental, emosi, dan perilaku yang disebabkan akibat pemakaian zat psikoaktif.
B. Faktor Penyebab Skozofrenia
Adapun faktor – faktor penyebab
skozofrenia antara lain :
a. Faktor biologis yaitu faktor gen yang melibatkan
skizofrenia, obat-obatan, anak keturunan dari ibu skizofrenia, anak kembar yang
indentik ataupun frental dan abnormalitas cara kerja otak.
b. Faktor psikologis yaitu faktor – faktor yang berhubungan
dengan gangguan pikiran, keyakinan, opini yang salah, ketidakmampuan membina,
mempertahankan hubungan sosial, adanya delusi dan halusinasi yang abnormal dan
gangguan afektif.
c. Faktor lingkungan yaitu pola asuh yang cenderung
skizofrenia, adopsi keluarga skizofrenia dan tuntunan hidup yang tinggi.
d. Faktor organis yaitu ada
perubahan atau kerusakkan pada sistem syaraf sentral juga terdapat
gangguan
– gangguan pada sistem kelenjar adrenalin dan piluitari (kelenjar dibawah
otak). Kadang kala kelenjar thyroid dan adrenal mengalami atrofi
berat. Dapat juga disebabkan oleh proses klimakterik dan gangguan menstruasi.
Semua ganguan tadi menyebabkan degenerasi pada energi fisik dan energi
mentalnya.
C. Ciri – Ciri Gangguan Psikotik Dan
Skizofrenia
A. Ciri –
Ciri Gangguan Psiotik
a.
Memiliki labilitas emosional.
b. Menarik
diri dari interaksi sosial.
c. Tidak mmpu
bekerja sesuai fungsinya.
d. Mengabaikan penampilan dan
kebersihan diri.
e. Mengalami
penurunan daya ingat dan kognitif parah.
f. Berpikir aneh, dangkal, berbicara tidak sesuai keadaan.
g. Mengalami kesulitan mengorientasikan
waktu, orang dan tempat.
h. Sulit tidur dalam beberapa hari atau
bisa tidur yang terlihat oleh keluarganya, tetapi pasien mesrasa sulit atau
tidak bisa tidur.
i. Memiliki keengganan melakukan segala
hal, mereka berusaha untuk tidak melakukan apa-apa bahkan marah jika diminta untuk melakukan
apa-apa.
j. Memiliki perilaku yang aneh
misalnya, mengurung diri di kamar, berbicara sendiri, tertawa sendiri, marah
berlebihan dengan stimulus ringan, tiba-tiba menangis, berjalan mondar-mandir,
berjalan tanpa arah dan tujuan yang jelas.
B.
Ciri – Ciri Skizofrenia
a. Mengalami delusi dan halusinasi.
b. Disorganisasi dan pendaftaran afektif.
c. Pendataran alogia, avolusi dan anhedonia.
d. Disfungsi sosial, okupasional, tidak peduli pada perawatan
diri dan persistensinya berlangsung
selama enam bulan.
e.
Mengalami
kesulitan dalam hubungan sosial atau masyarakat.
f. Cendrung
tidak membangun, membina, dan mempertahankan hubungan sosial.
g. Harapan hidup yang sangat rendah, cendrung untuk bunuh diri.
h. Reaksi emosional yangt abnormal.
i.
Adanya
kerusakan bagian otak terutama pada neurotransmiter.
·
Ciri – ciri umum skizofrenia antara lain :
a. Gangguan Delusi
Gangguan delusi disebut juga sebagai
disorder of thought content atau the basic characteristic of madness adalah
gejala gangguan psikotik penderita skizofrenia yang ditandai gangguan pikiran,
keyakinan kuat yang sebenarnya misrespresentation dari keyakinannya.
Ø Ciri – ciri klinis dari gangguan
delusi yaitu :
1) Keyakinan yang persisten dan berlawanan dengan kenyataan
tetapi tidak disertai dengan keberadaan sebenarnya.
2) Terisolasi secara sosial dan bersikap curiga pada orang
lain.
Ø Bentuk – bentuk delusi yang berkaitan
dengan skizofrenia yaitu :
1) Delusions of persecution adalah penderita skizofrenia yang
mengalami gangguan psikotik ditandai waham kebesaran, tersohor, sebagai tokoh-tokoh
penting atau merasa hebat.
2) Delusions of persecution adalah pasien skizofrenia yang
mengalami gangguan psikotik ditandai adanya waham prasangka buruk terhadap
dirinya atuapun orang lain yang tidak realitas. Merasa orang lain sangat dengki
dengan dirinya.
3) Cotard’s syndrome (somatic) adalah penderita skizofrenia
yang mengalami gangguan psikotik atau ketakuatan yang tidak real. Penderita
memiliki waham bahwa kondisi fisiknya sakit atau di bagian-bagian tubuh
tertentu rusak. Perasaan bagian tubuh yang terganggu atau sakit secara medis
tidak ditemukan.
4) Cogras syndrome yaitu penderita skizofrenia yang mengalami
gangguan psikotik ditandai adanya waham pengganti yang tidak real terhadap
dirinya. Merasa curiga bahwa selain dirinya ada yang sangat sama dengan
dirinya.
5) Erotomatic adalah keyakinan penderita skizofrenia
mencarimembututi orang-orang tersohor ataupun pada orang -orang yang dicintainya.
Penderita merasa dirinya dicintai.
6) Jealous yaitu keyakinan penderita skizofrenia bahwa pasangan
seksualnya melakukan selingkuh atau tidak setia pada dirinya.
b.
Halusinasi
Halusinasi adalah gejala gangguan
psikotik penderita skizofrenia yang ditandai gangguan persepsi pada berbagai
hal yang dianggap dapat dilihat, didengar ataupun adanya perasaan dihina
meskipun sebenarnya tidak realitas.
Ø Adapun ciri – ciri klinis dari
penderita halusinasi yaitu :
1) Tidak memiliki insight yang jelas dan kesalahan dalam
persepsi.
2) Adanya associative spilitting dan cognitive splitting.
Ø Bentuk-bentuk halusinasi yang
berkaitan dengan penderita skizofrenia yaitu :
1) Halusinasi
pendengaran (audiotory hallucination) adalah penderita skizofrenia yang
mengalami gangguan psikotik melalui adanya pendengaran terhadap objek suara –
suara tertentu. Keadaan ini sering terjadi ketika penderita skizofrenia tida
melakukan aktivitas. Terjadi pada bagian wernicke’s area.
2) Halusinasi pada bagian otak (brain imaging) yaitu gangguan
daerah otak terutama bagian broca’s area adalah daerah pada bagian otak yang
selalu memberikan halusinasi pada penderita skizofrenia.
TANDA DAN GEJALA HALUSINASI
Tanda :
·
Kepala mengangguk-angguk
seperti mendengar orang sedang berbicara.
·
Mengerakkan bibir,tetapi
suara atau bibir komat kamit tanpa suara.
·
Berbicara keras seperti ada
teman bicara
·
Asyik sendiri, kehilangan
kemampuan untuk membedakan halusinasi dan realita.
·
Kesukaran dalam berhubungan
dengan orang lain
·
Tidak mampu berespon
terhadap perintah yang tidak kompleks, serta berespon lebih dari satu orang.
·
Peningkatan tanda system
saraf otonom (denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah)
Gejala :
·
Kurang tidur
·
Kelelahan
·
Nutrisi kurang
·
Infeksi
·
Keletihan
·
Isolasi social
·
Hilangnya kebebasan hidup
·
Harga diri rendah
·
Putus asa
·
Kehilangan motivasi
·
Rendahnya kemampuan bersosialisasi
·
Ketidakadekuatan pengobatan
·
Ketidakadekuatan penanganan gejala
c.
Disorganisai
Adalah gangguan psikotik dari
penderita skizofrenia yang ditandai dengan ketidakmampuan dalam mengatur arah
bicara, reaksi emosional dan perilaku motoriknya.
Ø Bentuk – bentuk dari gangguan
pikiran disorganisasi yaitu :
1) Tangentialty adalah ketidakmampuan dari penderita
skizofrenia untuk mengikuti arah pembicaraan. Topik dan arah pembicaraan.
Pembicaraan penderita ini selalu menyimpang jauh dari setiap arah pembicaraannya.
2) Loose association adalah penderita skizofrenia yang
mengalami gangguan dalaam topik pembicaraaan. Topik dan arah pembicaraan penderita skizofrenia ini sama sekali tidak
berkaitan dengan apa yang dibicarakan.
3) Derailment
adalah pola pembicaraan penderita skizofrenia sama sekali keluar dari alur
pembicaraan.
d.
Pendataran
Afek
Adalah gejala gangguan psikotik dari
penderita skizofrenia yang ditandai dengan ketidakmampuannya dalam mengatur
antara reaksi emosional dan pola perilaku (inappropriate affect) atau afektif
yang tidak sesuai dengan perilaku. Misalnya, reaksi emosi yang tidak sesuai
dengan cara menimbun barang yang tidak lazim.
Adapun ciri – ciri klinis pendataran afek yaitu :
1)
Tidak
adanya reaksi emosional dalam komunikasi.
2)
Selalu
menatap kosong dalam pandangannya.
3)
Berbicara
datar tanpa ada nada pembicaraan.
e. Alogia
Adalah gejala gangguan psikotik dari
penderita skizofrenia yang ditandai dengan adanya disefisiensi dalam jumlah
atau isi pembicaraan.
Adapun ciri – ciri klinis dari penderita alogia yaitu :
1)
Jawaban
yang diberikan penderia singakat atau pendek.
2)
Cendrung
kurang tertarik untuk berbicara.
3)
Lebih
banyak berdiam diri dan komonikasi yang
tidak adekuat.
4)
Adanya
gangguan pikiran negatif dan berkomunikasi.
5)
Kesulitan
dalam memformulasikan kata.
6)
Kalimat (kata
– kata) selalu tidak sesuai dengan formulasi pikiran.
f. Avolisi
Yaitu gejala gangguan psikotik dari penderita skizofrenia
yang ditandai ketidakmampuan memulai ataupun mempertahankan kegiatan – kegiatan
penting.
Ciri – ciri klinis gangguan avolisi yaitu :
1)
Tidak
menunjukkan minat pada aktivitas atau fungsi kehidupannya sehari – hari dan tidak berminat merawat kesehatan
tubuhnya.
2)
Cenderung
menjadi pemalas dan kotor.
g.
Anhedonia
Yaitu gejala gangguan psikotik dari penderita skizofrenia
yang ditandai dengan ketidakadaan perasaan senang, sikap tidak peduli terhadap
kegiatan sehari – hari, cendrung tidak suka makan dan ketidakpedulian terhadap
hubungan interaksi sosial atau seks.
4. Tipe Skizofrenia dan Gangguan Psikotik
1.
Tipe Skizofrenia
Tipe skizofrenia dikelompokkan atas lima bagian yaitu :
a. Tipe paranoid.
b. Tipe katatonik.
c. Tipe tak terperinci atau tak terbedakan.
d. Tipe disorganisasi.
e. Tipe residual.
KLASIFIKASI
SKIZOFRENIA
Gejala klinis skizofrenia secara umum dan menyeluruh telah
diuraikan di muka, dalam PPDGJ III skizofrenia dibagi lagi dalam 9 tipe atau
kelompok yang mempunyai spesifikasi masing-masing, yang kriterianya di dominasi
dengan hal-hal sebagai berikut :
1. F20.0
Skizofrenia Paranoid
Ini adalah jenis
skizofrenia yang paling sering dijumpai di Negara manapun. Gambaran klinis didominasikan
oleh waham-waham yang secara relative stabil, sering kali bersifat paranoid,
biasanya disertai dengan halusinasi-halusinasi, terutama halusinasi
pendengaran, dan gangguan-gangguan persepsi. Gangguan afektif, dorongam
kehendak (volition) dan pembicaran serta gejala-gejala katatoni, tidak
menonjol.
Sebagai
tambahan :
Halusinasi dan atau waham harus
menonjol :
a)
Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau
memberiperintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi
pluit, mendengung, atau bunyi tawa.
b)
Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat
seksual, atau lain-lain perasaan tubuh halusinasi visual mungkin ada tetapi
jarang menonjol.
c)
Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham
dikendalikan (delusion of control), dipengaruhi (delusion of influence), atau
“Passivity” (delusion of passivity), dan keyakinan dikejar-kejar yang beraneka
ragam, adalah yang paling khas.
·
Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta
gejala katatonik secara relative tidak nyata / menonjol.
Pasien skizofrenik paranoid biasanya
berumur lebih tua daripada pasien skizofrenik terdisorganisasi atau katatonik
jika mereka mengalami episode pertama penyakitnya. Pasien yang sehat sampai
akhir usia 20 atau 30 tahunan biasanya mencapai kehidupan social yang dapat
membantu mereka melewati penyakitnya. Juga, kekuatan ego paranoid cenderung
lebih besar dari pasien katatonik dan terdisorganisasi. Pasien skizofrenik
paranoid menunjukkan regresi yang lambat dari kemampuanmentalnya, respon emosional,
dan perilakunya dibandingkan tipe lain pasien skizofrenik.
Pasien skizofrenik paranoid tipikal
adalah tegang, pencuriga, berhati-hati, dan tak ramah. Mereka juga dapat
bersifat bermusuhan atau agresif. Pasien skizofrenik paranoid kadang-kadang
dapat menempatkan diri mereka secara adekuat didalam situasi social. Kecerdasan
mereka tidak terpengaruhi oleh kecenderungan psikosis mereka dan tetap intak.
2. F20.1
Skizofrenia hebefrenik
Suatu bentuk
skizofrenia dengan perubahan afektif yang tampak jelas, dan secara umum
dijumpai waham dan halusinasi yang bersifat mengambang serta terputus-utus,
perilaku yang tak bertanggung jawab dan tak dapat dirmalkan, serta umumnya
mannerism.
Diagnosis hebefrenia untuk pertama kali hanya ditegakkan
pada usia remaja atau dewasa muda (onset biasanya mulai 15-25 tahun).
Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas : pemalu dan
senang menyendiri (solitary), namuntidak harus demikian untuk menentukan
diagnosis.
Untuk diagnosis hebefrenia yang menyakinkan umumnya
diperlukan pengamatan kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan
bahwa gambaran yang khas berikut ini memang benar bertahan :
·
Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat
diramalkan, serta mannerisme; ada kecenderungan untuk selalu menyendiri
(solitary), dan perilaku menunjukkan hampa tujuan dan hampa perasaan
·
Afek pasien dangkal (shallow) dan tidak wajar
(inappropriate), sering disertai oleh cekikikan (giggling) atau perasaan puas
diri (self-satisfied), senyum sendirir (self-absorbed smiling), atau oleh
sikap, tinggi hati (lofty manner), tertawa menyeringai (grimaces), mannerisme,
mengibuli secara bersenda gurau (pranks), keluhan hipokondrial, dan ungkapan
kata yang diulang-ulang (reiterated phrases)
·
Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak
menentu (rambling) serta inkoheren.
Gangguan
afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir umumnya menonjol.
Halusinasi dan waham mungkin ada tetapi biasanya tidak menonjol (fleeting and
fragmentary delusions and hallucinations). Dorongan kehendak (drive) dan yang
bertujuan (determination) hilang serta sasaran ditinggalkan, sehingga perilaku
penderita memperlihatkan ciri khas, yaitu perilaku tanpa tujuan (aimless) dan
tanpa maksud (empty of purpose). Adanya suatu preokupasi yang dangkal dan bersifat
dibuat-buat terhadap agama, filsafat dan tema abstrak lainnya, makin
mempersukar orang memahami jalan pikiran pasien.
Menurut
DSM-IV skizofrenia disebut sebagai skizofrenia tipe terdisorganisasi.
3. F20.2
Skizofrenia katatonik
Gangguan
psikomotor yang menonjol merupakan gambaran yang esensial dan dominan dan dapat
bervariasi antara kondisi ekstrem seperti hiperkinesis da stupr, atau antara
sifat penurut yang otomatis dan negavitisme. Sikap dan posisi tubuh yang
dipaksakan dapat dipertahankan untuk jaka waktu ynag lama. Episode kegelisahan
diset=rtai kekerasan mungkin gambaran keadaaan ini yang cocok.
Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi
gambaran klinisnya :
a)
stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap
lingkungan dan dalam gerakan serta aktivitas spontan) atau mutisme (tidak
berbicara)
b)
Gaduh gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang tak
bertujuan, yang tidak dipengaruhi oleh stimuli eksternal)
c)
Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil
dan mempertahankan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar atau aneh)
d)
Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif
terhadap semua perintah atau upaya untuk menggerakkan, atau pergerakkan kearah
yang berlawanan)
e)
Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk
melawan upaya menggerakkan dirinya)
f)
Fleksibilitas cerea / ”waxy flexibility” (mempertahankan
anggota gerak dan tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar)
g)
Gejala-gejala lain seperti “command automatism” (kepatuhan
secara otomatis terhadap perintah), dan pengulangan kata-kata serta
kalimat-kalimat.
Pada pasien yang tidak komunikatif
dengan manifestasi perilaku dari gangguan katatonik, diagnosis skizofrenia
mungkin harus ditunda sampai diperoleh bukti yang memadai tentang adanya
gejala-gejala lain.
Penting untuk diperhatikan bahwa
gejala-gejala katatonik bukan petunjuk diagnostik untuk skizofrenia. Gejala
katatonik dapat dicetuskan oleh penyakit otak, gangguan metabolik, atau alkohol
dan obat-obatan, serta dapat juga terjadi pada gangguan afektif.
Selama stupor atau kegembiraan
katatonik, pasien skizofrenik memerlukan pengawasan yang ketat untuk
menghindari pasien melukai dirinya sendiri atau orang lain. Perawatan medis
mungkin ddiperlukan karena adanya malnutrisi, kelelahan, hiperpireksia, atau cedera
yang disebabkan oleh dirinya sendiri.
4.
F20.3 Skizofrenia
tak terinci (Undifferentiated)
Seringkali. Pasien yang jelas
skizofrenik tidak dapat dengan mudah dimasukkan kedalam salah satu tipe. PPDGJ
mengklasifikasikan pasien tersebut sebagai tipe tidak terinci. Kriteria
diagnostic menurut PPDGJ III yaitu:
·
Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
·
Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia
paranoid, hebefrenik, atau katatonik.
·
Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau
depresi pasca skizofrenia.
5.
F20.4 Depresi Pasca-Skizofrenia
Suatu episode depresif yang mungkin
berlangsung lama dan timbul sesutau atau suatu serangan penyakit skizofrenia.
Diagnosis harus ditegakkan hanya
kalau :
a)
Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria
diagnosis umum skizzofrenia) selama 12 bulan terakhir ini
b)
Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak
lagi mendominasi gambaran klinisnya)
c)
Gejala-gejala depresif menonjol dan menganggu, memenuhi
paling sedikit kriteria untuk episode depresif, dan telah ada dalam kurun waktu
paling sedikit 2 minggu.
Apabila
pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia diagnosis menjadi episode
depresif. Bila gejala skizofrenia diagnosis masih jelas dan menonjol, diagnosis
harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang sesuai.
6.
F20.5 Skizofrenia Residual
Suatu
stadium kronis dalamperkembangan dalam suatu skizofrenia dimana telah terjadi
progresi yang jelas dari stadium awal (terdiri dari satu atau lebih episode
dengan gejala psikotik yang memenuhi kriteria umum untuk skizofrenia diatas)
kestadium lebih lanjut yang ditandai secara khas oleh gejala-gejala negatif
jangka panjang, walaupun belum tentu ireversibel.Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan,
persyaratan berikut ini harus dipenuhi semua :
a)
Gejala “negative” dari skizofrenia yang menonjol misalnya
perlambatan psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif
dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi
non-verbal yang buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara,
dan posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk
b)
Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di
masa lampau yang memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofenia
c)
Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana
intensitas dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah
sangat berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom “negative” dari skizofrenia
d)
Tidak terdapat dementia atau penyakit / gangguan otak
organik lain, depresi kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan
disabilitas negative tersebut.
5.
Cara
Mengatasi Gangguan Psikotik Dan Skizofrenia
1.
Cara Mengatasi Gangguan Psikotik
a. Psikotik Akut
Penatalaksanaan
Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga tentang
psikotik akut berikut hak dan kewajibannya.
Informasi yang perlu untuk pasien
dan keluarga
1)
Episode
akut sering mempunyai prognosis yang baik, tetapi lama perjalanan penyakit
sukar diramalkan hanya dengan melihat dari satu episode akut saja.
2)
Agitasi
yang membahayakan pasien, keluarga atau masyarakat, memerlukan hospitalisasi
atau pengawasan ketat di suatu tempat yang aman. Jika pasien menolak
pengobatan, mungkin diperlukan tindakan dengan bantuan perawat kesehatan jiwa
masyarakat dan perangkat desa serta keamanan setempat
3)
Menjaga
keamanan pasien dan individu yang merawatnya:
a)
Keluarga
atau teman harus mendampingi pasien.
b)
Kebutuhan
dasar pasien terpenuhi (misalnya, makan, minum, eliminasi dan kebersihan).
c)
Hati hati
agar pasien tidak mengalami cedera.
Konseling pasien dan keluarga
1)
Membantu
keluarga mengenal aspek hukum yang berkaitan dengan pengobatan psikiatrik
antara lain hak pasien, kewajiban dan tanggung jawab keluarga dalam pengobatan
pasien.
2)
Mendampingi
pasien dan keluarga untuk mengurangi stress dan kontak dengan stresor.
3) Memotivasi pasien agar melakukan
aktivitas sehari – hari setelah gejala membaik.
Pengobatan
Program pengobatan untuk psikotik akut :
1)
Berikan
obat antipsikotik untuk mengurangi gejala psikotik, haloperidol 2 – 5 mg, 1 – 3
kali sehari, atau Chlorpromazine 100 – 200 mg 1 – 3 kali sehari.
Dosis harus diberikan serendah mungkin untuk mengurangi efek
samping, walaupun beberapa pasien mungkin memerlukan dosis yang lebih tinggi.
2)
Obat
antiansietas juga bisa digunakan bersama dengan neuroleptika untuk
mengendalikan agitasi akut (misalnya : lorazepam 1 – 2 mg, 1 – 3 kali sehari).
3)
Obat
antipsikotik selama sekurang – kurangnya 3 bulan sesudah gejala hilang.
Apabila menemukan pasien gangguan jiwa di rumah dengan
perilaku di bawah ini, lakukan kolaborasi dengan tim untuk mengatasinya.
a)
Kekakuan
otot (distonia atau spasme akut), bisa ditanggulangi dengan suntikan
benzodiazepine atau obat antiparkinson.
b)
Kegelisahan
motorik berat (akatisia), bisa ditanggulangi dengan pengurangan dosis terapi
atau pemberian beta bloker.
c)
Gejala
parkinson (tremor atau gemetar, akinesia), bisa ditanggulangi dengan obat
antiparkinson oral (misalnya, trihexyphenidil 2 mg 3 kali sehari).
b. Psikotik Kronik
Penatalaksanaan
Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga
tentang asuhan keperawatan pada pasien halusinasi, waham, isolasi sosial, defisit perawatan diri. Beberapa informasi yang dapat disampaikan pada pasien dan keluarga antara lain :
tentang asuhan keperawatan pada pasien halusinasi, waham, isolasi sosial, defisit perawatan diri. Beberapa informasi yang dapat disampaikan pada pasien dan keluarga antara lain :
1.
Gejala
penyakit jiwa (perilaku aneh dan agitasi).
2.
Antisipasi
kekambuhan.
3.
Penanganan
psikosis akut.
4.
Pengobatan
yang akan mengurangi gejala dan mencegah kekambuhan.
5.
Perlunya dukungan
keluarga terhadap pengobatan dan rehabililtasi pasien.
6.
Perlunya
organisasi kemasyarakatan sebagai dukungan yang berarti bagi pasien dan
keluarga.
Konseling pasien dan keluarga
1.
Pengobatan
dan dukungan keluarga terhadap pasien.
2.
Membantu
pasien untuk berfungsi pada taraf yang optimal dalam pekerjaan dan kegiatan
sehari-hari.
3.
Kurangi
stress dan kontak dengan stres.
Pengobatan
Program pengobatan untuk psikotik kronik :
1.
Antipsikotik
yang mengurangi gejala psikotik :
a.
Haloperidol
2-5 mg 1 – 3 kali sehari
b.
Chlorpromazine
100-200 mg 1 – 3 kali sehari
Dosis harus serendah mungkin hanya untuk menghilangkan gejala, walaupun beberapa pasien mungkin membutuhkan dosis yang lebih tinggi.
Dosis harus serendah mungkin hanya untuk menghilangkan gejala, walaupun beberapa pasien mungkin membutuhkan dosis yang lebih tinggi.
2.
Obat anti
psikotik diberikan sekurang – kurangnya 3 bulan sesudah episode pertama
penyakitnya dan lebih lama sesudah episode berikutnya.
3.
Obat
antipsikotik mempunyai efek jangka panjang yang disuntikkan jika pasien gagal
untuk minum obat oral.
4.
Berikan
terapi untuk mengatasi efek samping yang mungkin timbul :
a.
Kekakuan
otot (distonis dan spasme akut) yang dapat diatasi dengan obat anti parkinson
atau benzodiazepine yang disuntikkan.
b.
Kegelisahan
motorik yang berat (akatisia) yang dapat diatasi dengan pengurangan dosis terapi
atau pemberian beta – bloker.
c. Obat anti Parkinson yang dapat mengatasi gejala parkinson
(antara lain trihexyphenidil 2 mg sampai 3 kali sehari, ekstrak belladonna 10 –
20 mg 3 X sehari, diphenhydramine 50 mg 3 X sehari).
1) Cara Mengatasi Skizofrenia
a. Menciptakan
kontak sosial yang baik.
b. Terapi ECT (electrocompulsive
therapy) dan (insulin comma therapy).
c. Menghindarkan
dari frustrasi dan kesulitan psikis lainnya.
d. Membiasakan
pasien memiliki sikap hidup positif dan mau melihat hari depan dengan rasa berani.
e.
Memberi obat neuroleptik yaitu obat yang dapat mengendalian
saraf delusi, halusinasi dan agitasi, clozapine serta olanzapine.
6. Perbedaan gangguan jiwa dan mental
a.
Gangguann mental atau penyakit mental adalah pola psikologis atau perilaku yang pada umumnya terkait
dengan stress atau kelainan mental yang tidak dianggap sebagai bagian dari
perkembangan normal manusia. Gangguan tersebut didefinisikan sebagai kombinasi
afektif, perilaku, komponen kognitif atau persepsi, yang berhubungan dengan
fungsi tertentu pada daerah otak atau sistem saraf yang menjalankan fungsi
sosial manusia. Penemuan dan pengetahuan tentang kondisi kesehatan mental telah
berubah sepanjang perubahan waktu dan perubahan budaya, dan saat ini masih
terdapat perbdaan tentang definisi, penilaan dan klasifikasi, meskipun kriteria
pedoman standar telah digunakan secara luas. Lebih dari sepertiga orang di
sebagian besar negara-negara melaporkan masalah pada satu waktu pada hidup
mereka yang memenuhi kriteria salah satu atau beberapa tipe umum dari kelainan
mental.
Penyebab gangguan mental bervariasi dan pada
beberapa kasus tidak jelas, dan teori terkadang menemukan penemuan yang rancu
pada suatu ruang lingkup lapangan. Layanan untk penyakit ini terpusat di Rumah
Sakit Jiwa atau di masyarakat sosial, dan penilaian diberikan oleh psikiater,
psikolog klinik, dan terkadang psikolog pekerja sukarela, menggunakan beberapa
variasi metode tetapi sering bergantung pada observasi dan tanya jawab.
Perawatan klinik disediakan oleh banyak profesi kesehatan mental. Psikoterapi
dan pengobatan psikiatrik merupakan dua opsi pengobatan umum, seperti juga
intervensi sosial, dukungan lingkungan, dan pertolongan diri. Pada beberapa
kasus terjadi penahanan paksa atau pengobatan paksa dimana hukum membolehkan.
Stigma atau diskriminasi dapat menambah beban dan kecacatan yang berasosiasi
dengan kelainan mental (atau terdiagnosa kelainan mental atau dinilai memiliki
kelainian mental), yang akan mengara ke berbagai gerakan sosial dalam rangka
untuk meningkatkan pemahanan dan mencegah pengucilan sosial
definisi dan klasifikasi kelainan mental adalah
kunci untuk peneliti sebagaimana juga penyedia layanan dan mereka yang mungkin
terdiagnosa. Sebagian besar dokumen klinik internasional menggunakan istilah
"Kelainan mental". Terdapat dua sistem yang mengklasifikasikan
kelainan mental ICD-10 Chapter V: Mental and behavioural disorders, bagian dari
International Classification of Diseases yang diterbitkan oleh World Health
Organization (WHO), dan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders
(DSM-IV) diterbitkan oleh Psychiatric Association (APA).
b. Gangguan jiwa adalah
suatu ketidakberesan kesehatan dengan manifestasi-manifestasi psikologis atau
perilaku terkait dengan penderitaan yang nyata dan kinerja yang buruk, dan
disebabkan oleh gangguan biologis, sosial, psikologis, genetik, fisis, atau
kimiawi. Gangguan jiwa mewakili suatu keadaan tidak beres yang berhakikatkan
penyimpangan dari suatu konsep normatif. Setiap jenis ketidakberesan kesehatan
itu memiliki tanda-tanda dan gejala-gejala yang khas. Setiap gangguan jiwa
dinamai dengan istilah yang tercantum dalam PPDGJ-IV (Pedoman Penggolongan dan
Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia edisi IV) atau DSM-IV-TR (Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders, 4th edition with text revision).
Kendati demikian, terdapat pula beberapa istilah yang dapat digunakan untuk
mendeskripsikan gangguan jiwa.
ASUHAN KEPERAWATAN
Kasus Skenario
Seorang
pria berusia 32 tahun 3 hari yang lalu dibawa ke unit gawat darurat RS, dengan
diagnosis medis axis 1 : F20. Diriwayatkan perilaku amuk. Saat ini pasien masih
sering tampak bicara sendiri, dan sikap menyerang jika didekati. Saat pengkajian
bersama keluarga, keluarga mengatakan bahwa dirumah pasien berteriak-teriak akan
membunuh seseorang yang katanya bersembunyi dirumahnya, tetapi keluarga merasa
ridak ada orang asing yang bersembunyi dirumah. Pasien mengalami perumabahn
perilaku tersebut sejak 2 tahun yang lalu, pernah dirawat sebelumnya 1x dengan
gejala yang sama. Kekambuhan kali ini karena putus obat. Dari perhitungan skore
katagori pasien diperoleh : 129
A. PENGKAJIAN
a.
Anamnesa
Nama :
Tn. Andi
Umur :
32 tahun
Jenis kelamin :
Laki-laki
Alamat :
Bantul Yogyakarta
Tgl masuk :
9 November 2012
Pendidikan :
SMP
Pekerjaan :
Petani
Riwayat Penyakit :
Pernah di rawat sebelumnya 1x dengan gejala yang sama
No.
|
Status Mental
|
Pemeriksaan
|
1.
|
Penampilan fisik
|
Rambut acak-acak, baju tidak rapi ,
bau badan khas , wajah ekspresi datar
|
2.
|
Pembicaraan
|
Berteriak – teriak, suara keras, banyak ungkapan.
|
3.
|
Aktivitas Motorik
|
Agitasi, amuk, menyerang ketika didekati, akan membunuh seseorang.
|
4.
|
Alam Perasaan
|
Khawatir, ketakutan.
|
5.
|
Afek
|
-
|
6.
|
Interaksi Selama Wawancara
|
Tidak
nyambung, curiga.
|
7.
|
Persepsi
|
Penglihatan,
yaitu akan membunuh seseorang yang bersembunyi di rumahnya.
|
8.
|
Isi Pikir
|
Fobia.
|
9.
|
Proses Pikir
|
-
|
10.
|
Tingkat Kesadaran
|
-
|
11.
|
Memori
|
-
|
12.
|
Tingkat Konsentrasi dan Berhitung
|
-
|
13.
|
Kemampuan Penilaian
|
-
|
14.
|
Daya Tilik Diri
|
Mengingkari
penyakit yang diderita.
|
b.
Factor predisposisi
a.
Faktor Biologis
ü
Genetis : diturunkan, adanya abnormalitas
perkembangan system saraf yang berhubungan dengan respon biologis yang maladaptive.
ü
Neurobiologist : waham yang diyakini
terjadi karena adanya atrofi otak, pembesaran ventrikel di otak, atau perubahan
pada sel kortikal dan limbic, serta Adanya gangguan pada korteks pre frontal.
ü
Virus paparan virus influensa pada
trimester III
b.
Faktor Sosio cultural
Factor perkembangan : hambatan perkembangan akan
mengganggu hubungan interpersonal seseorang. Hal ini dapat meningkatkan stress
dan ansietas yang berakhir dengan gangguan persepsi, klien menekan perasaannya
sehingga pematangan fungsi intelektual dan emosi tidak efektif ( Direja :
2011).
c.
factor psikologis, hubungan yang tidak
harmonis, peran ganda/bertentangan, dapat menimbulkan ansietas dan berakhir
dengan pengingkaran terhadap kenyataan. Contohnya ibu pencemas, terlalu melindungi, ayah tidak
peduli.
c. Faktor Presipitasi
a. Faktor Biologis
Dopamine, norepineprine, dan zat halusinogen lainnya
diduga dapat menjadi penyebab waham pada seseorang.
b. Faktor Sosial Budaya
Waham dapat dipicu karena adanya perpisahan dengan
orang yang berarti atau diasingkan dari kelompok.
c. Faktor Psikologis
Kecemasan yang memandang dan terbatasnya kemampuan untuk
mengatasi masalah sehingga klien mengembangkan koping untuk menghindari
kenyataan yang menyenangkan ( Direja : 2011).
d.
Perilaku
Bibir komat kamit, tertawa sendiri,
bicara sendiri, kepala mengangguk – angguk, seperti mendengar sesuatu, tiba –
tiba menutup telinga, gelisah, bergerak seperti mengambil atau membuang
sesuatu, tiba – tiba marah dan menyerang, duduk terpaku, memandang satu arah,
menarik diri.
e.
Status Emosi
Rasa takut yang di hadapi pasien ketika
melihat sesuatu yan ada dirumahnya.
ANALISA DATA
No
|
Data
|
Rumusan
Masalah
|
1.
|
Do :
Seorang pria usia 32
tahun, 3 hari yang lalu di bawa ke unit gawat darurat RS, dengan diagnose
medis axis 1 : F20, riwayat prilaku amuk. Saat ini pasien masih sering tampak
berbicara sendiri, dan bersikap menyerang jika di dekati . dan penghitungan
skore kategori pasien jiwa di peroleh : 129.
Ds :
Keluarga mengatakan
bahwa di rumah pasien berteriak-teriak akan membunuh seseorang yang katanya
bersembunyi di rumahnya, tetapi keluarga merasa tidak ada orang asing yang
bersembunyi di rumahnya. Pasien mengalami perilaku tersebut sejak 2 tahun
yang lalu, pernah dirawat sebelumnyA 1X dengan gejala yang sama. Kekambuhan kali ini karena
putus minum obat.
|
Gangguan peersepsi
sensori/halusinasi
|
PERENCANAAN
No
|
Diagnose
Keperawatan
|
Perencanaan
|
1.
|
Gangguan persepsi
sensori / halusinasi
|
Tujuan
:
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam diharapkan klien dapat mrngendalian gangguan
persepsi/halusinasi
|
INTERVENSI
No
|
Diagnose
Keperawatan
|
Intervensi
|
Rasional
|
1.
|
Gangguan persepsi
sensori / halusinasi
|
1.
Klien dapat hubungan saling percaya a.
Bina hubungan saling percaya
ü Salam terapeutik
ü Perkenalan diri
ü Jelaskan tujuan interaksi
ü Ciptakan lingkungan yang tenang
ü
Buat
kontrak yang jelas pada setiap pertemuan (topik, waktu dan tempat berbicara).
b.
Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya.
c.
Dengarkan ungkapan klien dengan empati.
2. 2. Klien dapat mengenal halusinasinya
a. Lakukan kontak sering dan singkat
b. Obeservasi tingkah laku klien
terkait dengan halusinasinya; bicara dan tertawa tanpa stimulus, memandang
kesekitarnya seolah – olah ada teman bicara.
c. Bantu klien untuk mengenal
halusinasinya;
ü Bila klien menjawab ada,
lanjutkan; apa yang dikatakan ?
ü Katakan bahwa perawat percaya
klien mendengarnya.
ü Katakan bahwa klien lain juga ada
yang seperti klien.
ü Katakan bahwa perawatan akan membantu
klien.
d. Diskusikan dengan klien tentang
ü Situasi yang dapat menimbulkan /
tidak menimbulkan halusinasi.
ü Waktu dan frekuensi terjadinya
halusinasi (pagi, siang sore, malam atau bila sendiri atau bila jengkel /
sedih).
e.
Diskusikan
dengan klien tentang apa yang dirasakan bila terjadi halusinasi (marah /
takut / sedih / senang) dan berkesempatan mengungkapkan perasaan.
3.
Klien dapat mengontrol halusinasinya
a. Identifikasi bersama klien cara /
tindakan yang dilakukan bila terjadi halusinasi (tidur/marah/menyibukkan
diri)
b. Diskusikan manfaat cara yang
digunakan klien, bila bermanfaat beri pujian.
c. Diskusi cara baru untuk memutus /
mengontrol timbulnya halusinasi :
ü Katakan “saya tidak mau dengan
kamu” (pada halusinasi).
ü Menemui orang lain (perawat /
teman / anggota keluarga untuk bercakap – cakap . mengatakan halusinaasinya.
ü Membuat jadwal kegiatan sehari –
hari agar halusinasi tidak sempat muncul.
ü Meminta orang lain (perawat /
teman anggota keluarga) menyapa bila tampak bicara sendiri.
d. Bantu klien memilih dan melatih
cara memutus / mengontrol halusinasi secara bertahap.
e. Berikan kesempatan untuk melakukan
cara yang telah dilatih, evaluasi hasilnya dan pujian bila berhasil.
f. Anjurkan klien untuk mengikuti
terapi aktivitas kelompok (orientasi realisasi dan stimulasi persepsi).
4. Klien dapat dukungan keluarga dalam mengotrol
halusinasinya :
a.
Anjurkan
klien memberitahu keluarga bila mengalami halusinasi.
b.
Diskusikan
dengan keluarga (pada saat berkunjung / pada saat kunjungan rumah)
b. Gejala halusinasinya yang dialami
klien
c. Cara yang dapat dilakukan klien
dan ke-luarga untuk memutus halusinasi
d. Cara merawat anggota keluarga yang
halusinasi di rumah : Beri kegiatan, jangan biarkan sendiri, makan bersama,
berpergian bersama
e. Berikan informasi waktu follow up
atau kapan perlu mandapat bantuan; halusinasi tak terkontrol dan resiko
mencederai orang lain
|
1.
Hubungan saling percaya sebagai
dasar interaksi yang terapeutik antara perawat dan klien
2.
Ungkapan perasaan oleh
klien sebagai bukti bahwa klien mempercayai perawat
3.
Empati perawat akan meningkatkan
hubungan terapeutik perawat-klien
Untuk mengurangi kontak klien dengan
halusinasinya.
1. Mengetahui cara – cara klien
mengatasi halusinasi baik yang positif maupun yang negatif.
2. Menghargai respon atau upaya klien.
3. informasi dan alternatif cara
mengatasi halusinasi pada klien.
4. Memberi kesempatan pada klien untuk
memilihkan cara sesuai kehendak dan kemampuannya.
5. Motivasi respon klien atas upaya
yang telah dilakukan.
6. Melibatkan klien dalam menghadapi
masalah halusinasi lanjutan
1. Sebagai upaya membina hubungan terapeutik
dengan keluarga.
2. Mencari data awal untuk menentukan intervensi
selanjutnya.
3. Penguatan untuk menghargai upaya
keluarga.
4. Memberikan informasi dan
mengajarkan keluarga tentang halusinasi dan cara merawat klien.
5. Pujian untuk menghargai keluarga.
|
IMPLEMENTASI
Diagnose
Keperawatan
|
Hari/Tanggal
|
Implementasi
|
Gangguan persepsi
sensori / halusinasi
|
Jumat, 23 November
2012
|
1.
Klien dapat melakukan hubungan
terapeutik dengan perawat
2.
Klien dapat berkomunikasi dan menerima
kehadiran perawat
3.
Klien dapat menceritakan dan
mengontrol gangguan halusinasi
4.
Klien dapat menggunakan obat sesuai
dengan halusinasinya.
5.
Klien mendapatkan dukungan dari
keluarga.
6.
Klien dapat melakukan perawatan diri
dari gangguan halusinasi.
|
EVALUASI
Hari / Tanggal
|
Diagnosa
Keperawatan
|
Evaluasi
|
Jum’at, 23 November
2012
|
Gangguan persepsi
sensori / halusinasi
|
S: Pasien berteriak-teriak
akan membunuh seseorang yang katanya bersembunyi di rumahnya, tetapi keluarga
merasa tidak ada orang asing yang bersembunyi di rumahnya
O: Seorang pria usia 32 tahun, 3 hari yang
lalu di bawa ke unit gawat darurat RS, dengan diagnose medis axis 1 : F20,
riwayat prilaku amuk. Saat ini pasien masih sering tampak berbicara sendiri,
dan bersikap menyerang jika di dekati . dan penghitungan skore kategori
pasien jiwa di peroleh : 129.
A: perawatan gangguan halusinasi terpenuhi.
P: Mengajarkan pasien cara mengontrol dan mengendalikan
halusinasi.
|
BAB III
PENUTUP
a.
Kesimpulan
Kata
skizofrenia terdiri dari dua kata, yaitu skhizein = spilit = pecah dan phrenia
= mind = pikiran. Jadi skizofrenia adalah gangguan psikotik yang sifatnya
merusak, melibatkan gangguan berfikir, persepsi, pembicaraan, emosional, dan
gangguan perilaku. Skizofrenia merupakan suatu deskripsi sindrom dengan variasi
penyebab dan perjalanan penyakit yang luas, serta sejumlah akibat tergantung
pada perimbangan pengaruh genetik dan sosial budaya (Rusdi Maslim, 2000 : 46). Menurut
Eugen Bleuler (Maramis, 1998 : 217), skizofrenia adalah suatu gambaran jiwa
yang terpecah belah, adanya keretakan atau disharmoni antara proses pikir,
perasaan dan perbuatan. Gangguan skizofrenia sebenarnya dapat dibagi menjadi
beberapa tipe, yaitu: 1. Skizofrenia paranoid (curiga, bermusuhan, garang
dsb)· 2. Skizofrenia katatonik (seperti patung, tidak mau makan, tidak mau
minum, dsb) 3. Skizofrenia hebefrenik (seperti anak kecil, merengek-rengek,
minta-minta, dsb). 4. Skizofrenia simplek (seperti gelandangan, jalan terus,
kluyuran)· 5. Skizofrenia Latent (autustik, seperti gembel)
Halusinasi
Adalah gejala gangguan psikotik penderita skizofrenia yang ditandai gangguan
persepsi pada berbagai hal yang dianggap dapat dilihat, didengar ataupun adanya
perasaan dihina meskipun sebenarnya tidak realitas. Tanda – tanda halusinasi
Menurut diri, tersenyum sendiri duduk terpaku, bicara sendiri memandang satu
arah, menyerang tiba – tiba, arah gelisah. Jenis halusinasi halusinasi dengar, halusinasi
terlihat, halusinasi penciuman , halusinasi kecap, halusinasi raba.
b.
Saran
Keperawatan jiwa adalah
masalah-masalah yang sangat serius dan diansangat penting. Masalah –masalah
tersebut dapat dianggap ancaman atau tantangan yang akan berdampak besar pada
keperawatan jiwa baik dalam tatanan regional maupun global. Sikap yang positif
terhadap diri sendiri, tumbuh kembang , aktualisasi diri, keutuhan, kebebasan
diri sangat diperlukan untuk dimiliki oleh setiap individu.
Bagi pembaca
pengontrolan emosi sangat harus diperhatikan, Karena dapat memberikan dampak
yang positif dan negatif. Jiwa dan diri anda sangatlah berarga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar